Hujan Es di Jogja, Bagaimana Fenomena Ini Terjadi?
Hujan Es di Jogja, Bagaimana Fenomena Ini Terjadi?
ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)
SURAKARTA - Hujan es yang baru-baru ini terjadi di Yogyakarta (11/3) merupakan fenomena yang jarang terjadi. Hujan es merupakan fenomena cuaca ekstrem yang terjadi ketika butiran es jatuh ke permukaan bumi. (bisa juga dibaca di link web : news.ums.ac.id)
Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Drs. Yuli Priyana, M.Si., menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hujan es. Faktor tersebut di antaranya adalah kelembaban udara yang tinggi disertai adanya arus udara yang naik sehingga terbentuk awan Cumulonimbus. Hujan es biasanya dimulai dengan pembentukan awan Cumulonimbus.
Awan Cumulonimbus merupakan salah satu awan yang pertumbuhannya vertikal hingga mencapai lapisan atmosfer atas. Awan ini terbentuk karena udara hangat dan lembap naik ke atas dengan kuat. Ciri awan Cumulonimbus adalah bentuknya besar menyerupai jamur, hitam, hujannya deras, anginnya kencang, dan disertai petir.
“Pada proses pertumbuhan yang vertikal itu berarti ada uap air yang naik menjadi air lagi, kemudian pada suhu-suhu tertentu dia akan menjadi es, karena tinggi sekali,” ungkapnya saat ditemui pada Kamis, (13/3).
Di dalam awan Cumulonimbus, terdapat area dengan suhu yang sangat dingin, bahkan di bawah titik beku atau minus. Tetesan air yang terbentuk akan membeku menjadi partikel es. Proses Bergeron adalah proses pertumbuhan kristal es di dalam awan. Kristal es ini tumbuh dengan menyerap uap air di sekitarnya.
Kristal es yang berada di atmosfer kemudian menjadi gumpalan es yang berat dan kemudian jatuh. Jatuhnya kristal es yang didukung dengan suhu udara di lapisan atmosfer lebih rendah atau dingin ini menjadi hujan es.
“Kalau suhunya relatif dingin, maka ketika kristal es itu jatuh akan tetap jadi es. Tapi kalau suhu di bawah itu panas, itu mungkin jatuhnya berupa air,” jelas penulis buku Pengantar Meteorologi dan Klimatologi itu.
Lebih lengkap, Yuli menerangkan proses awan dingin atau proses kristal es (proses Bergeron – Findeisen) yaitu awan dengan suhu sebagian atau seluruhnya < 0 °C yang berupa campuran tetes air dan kristal es. Kemudian tekanan uap di atas es kurang dari tekanan uap di atas butir air, sehingga air menguap dan butiran es bertambah besar oleh difusi.
Pertumbuhan kristal es mengorbankan tetes air lewat dingin (supercooled water), karena adanya gradien tekanan uap. Ketika tumbuh lebih besar dan jatuh, kata Yuli, kristal es menyapu butir lain. Sedangkan ketika melalui isoterm 0 °C kristal es melebur menjadi tetes hujan. Jika jatuh sebelum terjadi peleburan, maka akan turun sebagai salju atau butir es (hail). Proses ini melibatkan 3 fase padat, cair dan gas, sehingga seringkali disebut proses tiga fase.
Hujan es biasanya muncul di musim-musim pancaroba seperti pada bulan Maret-April dan September-Oktober. Fenomena ini jarang terjadi, tergantung pada kondisi yaitu kelembaban, udara yang naik, kemudian terbentuk awan Cumulonimbus.
Fenomena hujan es ini pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia antaranya Landak (2024), Sidoarjo (2024), Surabaya (2017), Jakarta (2017), dan beberapa daerah lainnya.
Hujan es ini berbeda dengan hujan salju. Proses terbentuknya salju adalah pada suhu dingin, berbeda dengan hujan es yang diawali dengan terbentuknya awan cumulonimbus. Salju terbentuk dan jatuh pada daerah yang dingin.
“Di Indonesia, salju tidak mungkin karena Indonesia wilayah tropis, tetapi hujan es masih mungkin,” tutur dia.
Ukuran butiran es dapat bervariasi, dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter. Selain itu, dampak hujan es juga bisa destruktif seperti merusak kaca mobil. Tetapi untuk dampak signifikan di sektor pertanian masih perlu penelitian lain, berbeda dengan embun upas yang terjadi di dataran tinggi Dieng. (Maysali/Humas)