News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Orasi Pengukuhan Prof Dr. Argyo Demartoto, M.Si pada Pengukuhan Guru Besar Sidang Terbuka Senat Akademik UNS

Orasi Pengukuhan Prof Dr. Argyo Demartoto, M.Si pada Pengukuhan Guru Besar Sidang Terbuka Senat Akademik UNS

 Orasi Pengukuhan Prof Dr. Argyo Demartoto, M.Si pada Pengukuhan Guru Besar  Sidang Terbuka Senat Akademik UNS


ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com.

SOLO - Rektor Prof Dr.dr. Hartono mengukuhkan Dr. Argyo Demartoto, M.Si sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Kesehatan, di Aula Aditorium Universitas Sebelas Maret Solo, Senin (16/12). Pada pengukuhan Guru Besar Tersebut, Dr. Argyo Demartoto, M.Si. menyampaikan pidato pengukuhan berjudul "Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan Dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Berbasis Humanisme Digital: Tantangan dan Peluang"


Prof Dr. Argyo Demartoto, M.Si menyatakan HIV/AIDS menjadi salah satu masalah kesehatan yang signifikan dan berdampak ke berbagai aspek kehidupan. SDGs Nomor 3 Good Health and Well-being menjadi pedoman global dalam mewujudkan Three Zeroes HIV/AIDS 2030. Akselerasi Suluh, Temukan, Obati, dan Pertahankan (STOP) yang mengadopsi strategi fast track 90-90-90 bertujuan memastikan pencapaian: 90% orang mengetahui status HIV/AIDS melalui tes atau deteksi dini; 90% ODHA mengetahui status HIV/AIDS menerima terapi ARV dan 90% ODHA dalam terapi ARV berhasil menekan jumlah virusnya. Menurut UNAIDS, tahun 2022 terdapat 39 juta kasus prevalensi ODHA di dunia, Prevalensi ODHA di Indonesia 570 ribu kasus pada tahun 2023 serta prevalensi ODHA di Surakarta hingga Juli 2024 terdapat 6.188 kasus. "Pelayanan Komprehensif Berkesinambungan berbasis Humanisme Digital hadir sebagai alternatif yang komprehensif dan inklusif," ujar Prof Dr. Argyo Demartoto yang kini lebih dikenal sebagai Guru Besar AIDS

Pergeseran dari sistem konvensional ke digital, menjurut Prof AIDS, memicu terjadinya perubahan pola dalam pelayanan kesehatan. Prof Dr. Argyo Demartoto mengatakan ada 3 gelombang Digital Humanities yaitu Gelombang Pertama (1940-2001) Komputasi Humaniora, Gelombang Kedua (2002-2009) Humaniora Digital membawa kita pada kekaguman akan “Keagungan Teknologi” yang diadaptasikan dalam berbagai bentuk salah satunya pelayanan kesehatan digital, kemudahan akses informasi bagi pasien, kemudahan komunikasi dengan rumah sakit, klinik, dokter dan administrator pelayanan kesehatan, fitur pengingat jadwal kontrol kesehatan dan waktu minum obat secara digital. Gelombang Ketiga (2009-sekarang) Critical Digital Humanities mengintegrasikan konsep humanisme digital agar dapat memberikan akses informasi dan layanan kesehatan yang inklusif dan merata bagi ODHA, kelompok berisiko tertular HIV/AIDS, dan masyarakat umum. 


Pemanfaatan media digital, menurut Prof AIDS, dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, misalnya website Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) dari Kementerian Kesehatan RI, yayasankasihglobalindo.org dan ypi.or.id untuk Daerah Khusus Jakarta; testjog.org untuk DIY; balipeduli.org dan gayadewata.com untuk Bali; sayaberani.org untuk Pulau Kalimantan, serta media sosial lainnya. "Layanan Extra Hours Puskesmas di Surakarta dipromosikan melalui Instagram, misal @puskesmaskratonan mempromosikan informasi program Voluntary Counselling Test (VCT), tes HIV, serta pelayanan Perawatan dan Dukungan Pengobatan (PDP)," ungkap Prof Dr. Argyo Demartoto.


Tantangan implementasi kesehatan digital, menurut Guru Besar AIDS, diantaranya kesenjangan akses teknologi dan infrastruktur kesehatan, terutama di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), isu keamanan data dan privasi yang dapat menimbulkan risiko signifikan, variasi jumlah aplikasi kesehatan yang terlalu banyak, serta kurang optimalnya integrasi sistem kesehatan konvensional dan layanan digital. 


Adapun peluang implementasi kesehatan digital yaitu upaya peningkatan akses layanan kesehatan digital dan upaya perbaikan kualitas dan struktur layanan kesehatan melalui teknologi digital, seperti telehealth, halodoc, alodoc, dan lain-lain. Melalui integrasi nilai yang berfokus pada kemanusiaan dan kesetaraan, menjrut Prof Dr. Argyo, diharapkan dapat meminimalisir diskriminasi dan stigma negatif terhadap ODHA dan kelompok berisiko tertular HIV dan AIDS.


Ketua Dewan Profesor Prof Suranto mengatakan jabatan akademik adalah jabatan tertinggi dosen adalah Profesor atau Guru Besar, untuk itu dapat berkontribusi positif terhadap perkembangan UNS. Guru besar yang aktif sudah mencapai 250 -an, sebuah prestasi yang luar biasa dan menandakan PTNBH sudah lebih dari layak. 



Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.