IKA UMS Angkat Isu Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak pada Ultimate Talk Series 3
IKA UMS Angkat Isu Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak pada Ultimate Talk Series 3
ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)
SURAKARTA - Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Ultimate Talk Series 3 membawa isu kekerasan pada perempuan dan anak dengan menghadirkan pakar dari sisi hukum, psikologi, dan institusi yang bertanggung jawab dalam mencegah kekerasan pada perempuan dan anak.
Ketua Direktorat X Bidang Pemberdayaan Perempuan, Anak, dan Difabel IKA UMS Nuri Rinawati, S.Psi., dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa sebagai fenomena, sampai saat ini budaya patriarki masih berjalan di tatanan masyarakat Indonesia.
"Budaya ini masih ditemukan di berbagai aspek ruang lingkup seperti ekonomi, politik, pendidikan, adat dan istiadat," ujarnya, Senin (9/12) di Auditorium Mohammad Djazman.
Sistem budaya patriarki ini, lanjutnya, seakan memberikan laki-laki kekuasaan untuk melakukan sesuatu termasuk kekerasan dan bentuk kekerasan ke perempuan seperti pelecehan.
Secara bahasa, kata wanita muncul dengan konotasi 'wani ditata' atau berani ditata. Namun, selanjutnya muncul kata perempuan, yang artinya diempukan atau induk dari segala hal.
"Semuanya bersumber pada perempuan. Jadi akhirnya kita lebih sering menggunakan kata perempuan. Perempuan merasa lebih berharga, lebih terhormat, dan lebih ada apresiasi. Lebih diagungkan seperti itu ya," paparnya.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa kekerasan pada anak dan perempuan juga semakin masif dan itu sangat memprihatinkan.
"Dan untuk kepedualian pemerintah Indonesia terhadap ketidakadilan ini, maka Indonesia ikut meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang dikenal dengan CEDAW melalui Undang-undang No 7 tahun 1984," tutur Nuri.
Dia melanjutkan, penghapusan diskriminasi dan penanganan kekerasan akan efektif dan memberikan dampak keberhasilan apabila dilakukan secara terpadu karena penanganan seharusnya bersifat segera, komprehensif, dan holistik. Kekerasan pada perempuan mulai bisa dilihat dan dirasakan sekarang tetapi masih perlu ditingkatkan komitmen dalam penghapusan kekerasa dalam perempuan.
Di sisi lain, Wakil Rektor III UMS Prof. Ihwan Susila, Ph.D., lebih melihat kepada keadilan dibandingkan dengan kesetaraan, sehingga ini bukan hanya gender equality tetapi gender equity.
"Bahwa kemudian ada banyak korban dari perempuan mungkin iya, tetapi dengan kasus istri membakar suaminya, itu berarti harus juga hati-hati dengan perempuan. Itu terjadi bisa jadi karena tidak terjadi keadilan," tuturnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, konteksnya adalah bagaimana agar gender equality atau equity itu bisa terwujud terutama dalam pendidikan karena konteksnya kita sedang di perguruan tinggi maka tentu itu harus disiapkan mulai dari sekarang.
"Tapi sekali lagi, konteksnya adalah bagaimana keadilan yang harusnya dirasakan baik laki-laki maupun perempuan," ungkapnya.
Keadilan gender itu, tambahnya, bagaimana agar keadaan atau kesetaraan itu bisa terlihat dari manfaat dan tanggung jawab yang diemban oleh masing-masing gender.
Ihwan juga menggarisbawahi bahwa masing-masing itu mempunyai perbedaan, tidak mungkin laki-laki dan perempuan itu sama karena memang diciptakan berbeda. Oleh karena itu masing-masing memiliki tanggung jawab dan tujuannya yang berbeda-beda sehingga perlakuan terhadap laki-laki atau perempuan itu bisa saja berbeda atau sama.
"Tapi yang penting itu adalah mereka mendapatkan hak, manfaat, kewajiban, dan peluang yang sama di dalam kehidupan mereka. Nah itu yang lebih penting daripada sekedar harus setara, harus sama, dan seterusnya," tekan Ihwan.
Usai opening speech, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama para pakar yaitu Dian Sasmita, SH., MH (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Bambang Sukoco, S.H., M.H. (Ketua Majelis Hukum dan HAM PWM Jawa Tengah), Fitri Handayani (SPEKHAM), dan Dr. Tutut Handayani, S.Psi., M.Si, Psikolog (Dewan Pakar PP IKA UMS & Founder Matahati Consulting). (Maysali/Humas)