News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

OPINI : Mengintip Sejarah Museum Tertua di Kota Solo: Radya Pustaka

OPINI : Mengintip Sejarah Museum Tertua di Kota Solo: Radya Pustaka

OPINI : Mengintip Sejarah Museum Tertua di Kota Solo: Radya Pustaka

oleh : Faliza Aldora 

Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Kota Solo, merupakan satu dari sekian banyak kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kota kecil yang nyaman, damai, tentram, dengan perkembangan budaya Jawa yang masih sangat melekat dengan kota ini. Mungkin memang belum banyak yang mengenalnya, tetapi kota ini selalu punya daya tarik tersendiri khususnya dari segi wisata dan sejarah tempo dulu. Museum Radya Pustaka, ialah salah satu dari sekian banyak destinasi wisata sejarah di Kota Solo.

Menurut informasi yang saya dapatkan dari web resmi Pemerintah Kota Surakarta, museum ini didirikan oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat pada 18 Oktober 1890. Sebelum berubah menjadi museum cantik seperti sekarang, dulunya tempat ini merupakan kediaman dari seorang WNA (Warna Negara Asing) yang berasal dari Belanda, bernama Johannes Busselaar. Museum ini merupakan museum tertua di Indonesia dan memiliki nama lain Loji Kadipolo.

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada hari Kamis tanggal 27 Juni 2024 saya berkunjung ke museum ini. Lokasinya berada di Jalanan utama Kota Solo, yaitu Slamet Riyadi. Sebagai warga Solo, awalnya memang saya tidak pernah tertarik untuk mengunjungi tempat ini. Setelah melihatnya fyp pada aplikasi TikTok saya bahwa museum ini sedang mengadakan pameran baru, saya tertarik untuk mengunjunginya. Sepertinya pameran ini memberikan warna segar bagi Museum Radya Pustaka. Terbukti dari banyaknya pengunjung saat saya berada disana. Tiket masuknya hanya Rp 10.000,00 untuk umum dan Rp 7.500,00 untuk pelajar atau mahasiswa. Awal masuk disambut dengan ruangan luas, sepertinya dulu ini adalah ruang tamu, mengingat bahwa museum ini adalah bekas rumah dari seorang Warga Negara Belanda. 

Seluruh ruangan di dalam museum ini juga masih terlihat seperti rumah pada umumnya, terdapat beberapa ruangan yang mungkin dulunya adalah kamar tidur. Pada ruangan pertama di bagian kiri dari pintu masuk, terdapat koleksi barang pecah belah seperti keramik, piring, gelas, dan lain sebagainya. Sedangkan ruangan sebelah kanan diisi dengan koleksi berbagai macam bentuk keris, replika patung (yang ukurannya kecil), alat-alat yang terbuat dari logam seperti lonceng, sendok, dan juga terdapat sebuah benda yang dinamakan Darpana. Fungsi dari benda ini adalah sebagai cermin dan juga digunakan sebagai salah satu simbol yang menjadi pegangan dari arca Dewa Shiwa bertangan 32. terdapat pula centong dan cetakan logam yang dipakai pada zaman itu. 

Setelah memasuki kedua ruangan tersebut, saya putuskan untuk melanjutkan masuk ke dalam ruang tengah dari museum tersebut. Pada ruangan inilah yang paling banyak menyimpan koleksi barang-barang peninggalan dahulu. Di tengah ruangan terdapat berbagai macam gamelan, contohnya kendhang, saron, kenong, gong, demung, dan lainnya yang saya rasa gamelan disini memang sangat lengkap. Di sudut ruangan, tepatnya di dinding ruangan tersebut (dari sisi tepian jalan yang terdapat di ruangan itu) juga memamerkan berbagai koleksi wayang yang kalau disebutkan satu-satu tidak akan ada habisnya, sangat banyak. Terdapat pula mesin ketik kuno, tempat teh, pakinangan (tempat untuk nginang orang dulu), tempat air minum (dari kulit buah tanaman langka), dan juga kecohan yaitu tempat untuk membuang ludah pada saat sedang mengonsumsi sirih.

Ada juga patung yang memakai pakaian kebesaran bupati Keraton Surakarta. Pakaian ini dipakai saat sedang menghadiri acara dan memiliki keperluan formal, contohnya seperti mengantar atau menjemput tamu. Nama pakaian kebesaran Bupati Keraton Surakarta adalah Beskap Sikepan dan Kulul Songkok.

Lanjut untuk memasuki ruangan selanjutnya, dimana tempat dari pameran ini dipamerkan. Pameran ini bertajuk ”Sraddha, The Character of Panji Sekar, Raras, Dhadap”. Tema ini berasal dari singkatan 3 judul naskah Panji koleksi Museum Radya Pustaka, yang juga merupakan ubahan pada masa pemerintahan Paku Buana IV (1788-1820) yakni Panji Sekar, Panji Raras, dan Panji Dhadap. Pada pameran koleksi ini menampilkan karya yang berkaitan dengan kisah panji seperti topeng klana panji, wayang gedhong, wayang beber, dan tak lupa naskah serat panji. Suasana di dalamnya memberikan kesan bahwa museum ini bisa berkembang mengikuti arus globalisasi yang mendunia tetapi tetap mempertahankan sejarah dan kesenian daerah yang ada pada Kota Surakarta.

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.