News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Opini : Desas-Desus PPDB: Suara Warga Tawangmangu Terkait Sistem Zonasi yang Tak Kunjung Berhenti

Opini : Desas-Desus PPDB: Suara Warga Tawangmangu Terkait Sistem Zonasi yang Tak Kunjung Berhenti

 Opini : Desas-Desus PPDB: Suara Warga Tawangmangu Terkait Sistem Zonasi yang Tak Kunjung Berhenti


oleh : Dwi Wahyuningsih 

Program Studi S1 Agribisnis

Universitas Sebelas Maret 

Indonesia telah menerapkan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru pada jenjang SD, SMP dan SMA Negeri sejak tahun 2017. Sistem zonasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi kesenjangan dalam bidang pendidikan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggunakan sistem zonasi sebagai upaya menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan.

Sistem zonasi dipandang strategis untuk mempercepat pemerataan di sektor pendidikan. Tujuan utama diberlakukannya sistem zonasi adalah untuk menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan pada sistem persekolahan. Menurut Kemendikbud, terjadi ketimpangan antara sekolah yang dipandang sebagai sekolah favorit atau unggul dengan sekolah yang dipandang tidak unggul atau biasa saja. 

Sekolah favorit memiliki peserta didik dengan prestasi yang baik atau tinggi. Latar belakang ekonomi dan sosial keluarga peserta didik mayoritas baik. Namun disisi lain, ada sekolah yang memiliki peserta didik dengan prestasi belajar yang kurang baik atau rendah, dan umumnya berasal dari keluarga tidak mampu. Juga terdapat peserta didik yang ingin bersekolah namun tidak bisa karena terhalang oleh capaian akademik. 

Kasus ketimpangan sekolah ini dirasa tidak benar oleh Kemendikbud mengingat prinsip keadilan. Sekolah negeri merupakan salah satu pelayanan publik. Seharusnya layanan publik itu dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Pelayanan publik tidak boleh menjadi bahan persaingan dan tidak boleh ada diskriminasi.

Permasalahan terkait sekolah favorit dan tidak favorit dipandang dapat memperuncing perbedaan dan memperbesar kesenjangan. Kesenjangan ini melibatkan persepsi dan mental para pelajar. Hal tersebut, menurut Kemendikbud tidak boleh dibiarkan berkepanjangan. Oleh karena itu pemerintah menerapkan kebijakan sistem zonasi. 

Semua sekolah pastinya adalah sekolah unggulan. Semua sekolah baik dan akan menghasilkan peserta didik yang baik. Karena semua sekolah negeri baik yang berada di tengah kota ataupun yang berada di pinggir kecamatan berada di bawah naungan Kemendikbud. Oleh karena itu sudah pasti terpantau bagaimana perkembangan masing-masing sekolah.

Bagaimana mungkin sekolah dianggap unggul karena persepsi orang semata. Hanya karena di sekolah tersebut pemerintah menempatkan kepala sekolah dan guru-guru yang unggul. Menerima siswa yang unggul saja, lalu difasilitasi gedung, sarana dan prasarana yang unggul pula.

Dengan sistem zonasi mulai ada pandangan bahwa untuk sukses bisa sekolah di dekat rumah saja. Untuk diterima di perguruan tinggi ternama, tidak lagi dimonopoli oleh sekolah tertentu saja. Sekolah dan siswa berprestasi justru akan muncul dari pinggir kota, di kecamatan-kecamatan. Tidak ada sekolah unggul dan non-unggul, semua sekolah sama.

Bagi masyarakat yang yang tinggal di daerah perkotaan dengan jumlah sekolah negeri yang banyak mungkin sistem zonasi bisa diterapkan secara efektif. Namun bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil yang jauh dari kota besar? Bagaimana dengan mereka yang tinggal jauh dari lingkungan sekolah?

Untuk kota dan kecamatan dengan jumlah sekolah negeri yang banyak hingga pinggir-pinggir kecamatan mungkin sistem zonasi memang adil. Karena dengan adanya sistem zonasi semua sekolah termasuk sekolah di pinggir kecamatan akan memperoleh jumlah peserta didik yang penuh. Sehingga dana dari Kemendikbud juga turun sebagaimana mestinya. 

Namun, banyak juga masyarakat yang kesusahan dan merasa sistem zonasi ini tidak adil. Misalnya mereka yang tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan dan jauh dari adanya sekolah negeri. Sebenarnya mereka memiliki prestasi yang baik namun tidak dapat sekolah pada sekolah negeri hanya karena jarak rumah mereka jauh dari sekolah. Akhirnya terpaksa mereka harus bersekolah dengan biaya yang tinggi di sekolah swasta.

Di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar hanya terdapat 2 SMP Negeri dan 1 SMA Negeri. Dahulu, pada awal diberlakukannya sistem zonasi, tahun 2017 belum ada SMA Negeri di Tawangmangu. Masyarakat di Tawangmangu merasa sangat resah karena sistem zonasi. Bagaimana tidak? mereka yang jauh dari sekolah negeri tidak dapat diterima meskipun nilai mereka tinggi, sedangkan peserta didik dengan nilai rendah diterima karena jarak rumah yang dekat dengan sekolah. 

Dengan adanya sistem zonasi tidak hanya peserta didik yang merasa jengkel di Tawangmangu namun para orang tua juga turut jengkel. Banyak dari wali murid yang berbondong-bondong datang ke sekolah negeri tujuan dan mencoba berbicara kepada pihak sekolah. Namun pihak sekolah tidak dapat berbuat apa-apa karena memang sudah kebijakan dari pemerintah. 

Hingga saat ini, ketika PPDB dimulai masih banyak masyarakat yang meresahkan adanya sistem zonasi yang masih terus diberlakukan. Dampak dari zonasi tidak hanya dirasakan oleh peserta didik yang tinggal jauh dari sekolah namun juga berimbas pada kualitas peserta didik pada tiap sekolah. Peserta didik yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah akan bermalas-malasan. Karena mereka yakin akan tetap diterima di sekolah tujuan melalui jalur zonasi meskipun nilai mereka tidak tinggi. Nah, Bagaimana menurut kalian apakah sistem zonasi ini suatu keadilan?

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.