Opini Arifah Handayani (UMS) : Mythomania: Kebohongan yang Nyaris Sempurna
Mythomania: Kebohongan yang Nyaris Sempurna
Arifah Handayani
Mahasiswa Program Doktoral Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tertipu itu pengalaman yang terbeli.
Terfitnah adalah kebenaran yang tercurangi.
Ketika Elizabeth Holmes pendiri perusahaan Theranos menyatakan bahwa teknologinya mampu melakukan pengujian medis hanya dengan satu tetes darah seluruh mata takjub dan memercayainya sebagai sebuah temuan yang canggih. Namun, di kemudian hari terungkap bahwa itu hanya klaim sepihak saja yang sebagian besarnya ternyata tipuan semata. Dunia jurnalis saja tidak luput dari kebohongan seperti ini. Brian Williams, seorang jurnalis mantan pembawa berita utama NBC Nightly News pada tahun 2015 harus kehilangan jabatannya. Penyebabnya karena memberikan informasi keliru mengenai pengalaman perangnya di Irak pada tahun 2003.
Kita sering menemukan kisah-kisah palsu yang dikemas dramatis seperti ini. Membungkus kebohongan dengan berbagai dalih tanpa ada perasaan bersalah. Tujuannya membius persepsi orang agar meyakini apa yang diucapkannya. Namun, terkadang bisa saja tujuannya tidak jelas. Meski pada intinya mereka ingin sekali menjadi pusat perhatian atas seluruh cerita palsunya hingga tidak ada lagi batas antara yang nyata dan khayalan. Dalam mitologi Yunani, ada Autolycus yang dikenal dengan kelicikannya mengarang cerita palsu untuk menyembunyikan semua kejahatannya.
Skandal besar kebohongan pernah terjadi juga pada pria Spanyol bernama Enric Marco yang mengatakan pernah menjadi tahanan Nazi di kamp Flossenburg, Jerman. Namun ternyata tiga puluh tahun kemudian baru diketahui bahwa cerita itu merupakan sebuah kebohongan besar. Peristiwa menggemparkan terulang lagi pada kasus mahasiswa program doktor dari Indonesia di Belanda yang berbohong soal prestasi, pendidikan, dan banyak klaim tipuan lainnya. Sulit untuk memercayai bahwa ada kebohongan di cerita tersebut.
Berbagai kebohongan tersebut bisa saja bermuara pada apa yang disebut dengan kebohongan patologis (mythomania). Para mythomania ini bisa sangat detail dalam membuat narasi kebohongannya sehingga nyaris tanpa celah untuk mengenali sisi kejanggalannya. Kita memang tidak bisa mengatakan secara mudah tentang mythomania. Tetap diperlukan pemeriksaan lengkap agak tegak diagnosis apakah memang benar kebohongan patologis atau bukan. Bisa jadi mereka yang kita kenal sekarang dengan cerita-cerita “baiknya” adalah para penipu ulung yang sedang memakai jubah mythomania-nya.
Sikap Manipulatif dan Bias Informasi
Mythomania diperkenalkan oleh Ferdinand Dupre, seorang psikiater pada tahun 1905. Dalam istilah psikologi, mythomania dapat dijelaskan sebagai kebohongan patologis dimana seseorang melakukan kebohongan secara sistematik dan terus menerus sehingga kebohongan itu menjadi tampak seperti kebenaran. Bahkan dirinya sendiri pun lama kelamaan menjadi semakin meyakini itu adalah kebenaran. Berbeda dengan pembohong biasa, seorang yang diindikasikan sebagai mythomania terkadang tidak sadar bahwa dirinya berbohong karena persepsi kebenaran yang dibentuk dalam pikirannya hanya mengikuti pola keyakinan sebagai dorongan psikologis yang keliru. Mereka sangat menikmati dan nyaman dengan kondisi kebohongannya. Tidak merasa dikejar perasaan bersalah sebagaimana para pembohong biasa.
Orang dengan deteksi mythomania sangat percaya ceritanya itu benar padahal jelas tidak benar dalam fakta pandangan orang lain. Semakin dijelaskan tentang kebohongannya maka akan semakin kuat pula dia meyakini meski secara fakta ceritanya bisa dibuktikan berbohong. Para mythomania sangat menikmati kebohongannya sebagai upaya untuk melepaskan atau mengingkari kenyataan hidupnya yang sesungguhnya dengan hidup pada ruang kosong kebohongan yang diciptakannya sendiri agar image dirinya menjadi terbentuk berbeda dengan aslinya. Sebuah keputusan menutupi fakta diri agar kesakitan dan kekecewaan tentang dirinya yang sesungguhnya bisa diatasi tanpa rasa menderita dengan cara memanipulasi pikiran orang lain agar meyakini kebohongannya. Kalau ditarik mundur pada kisah hidupnya terdahulu kemungkinan akan ditemukan banyak cerita ketidakbahagiaan sehingga tumpukan kegagalan ini ingin diingkari dengan bingkai tampilan cerita kebohongan sehingga membuat orang bersimpati.
Mereka para mythomania selalu hidup penuh drama dalam kehidupannya. Tampil sangat meyakinkan dengan seluruh cerita kebohongan yang sulit dideteksi jika tak jeli dalam mendengarnya dan tak pintar untuk mengurai rangkaian ceritanya. Apalagi bila sudah dengan tambahan drama air mata dan cerita kesedihan yang melengkapi tipuan itu. Pencitraan yang mampu menutup mata banyak orang dari kebenaran yang sesungguhnya. Sementara banyak orang terkesima maka lanjutan dari narasi kebohongannya akan semakin berjilid-jilid.
Dibuatlah cerita yang sekilas sedemikian masuk akal dan mudah dipercaya. Cerita bohong yang diulang secara berkala dengan tambahan narasi yang sepertinya mendukung kebenaran pikirannya. Semakin lama semakin tidak terarah lagi ceritanya. Sulit membedakan mana yang karangan dan mana yang fakta. Semua tumpang tindih sehingga membentuk pola kebohongan yang masif. Jika posisinya terdesak dan mulai tercium bau-bau kebohongan dia akan berbalik arah memainkan peran sebagai korban dengan playing victim-nya. Mereka yang dengan harga diri rendah sering memutar balik fakta adalah contoh dari potensi munculnya mtythomania.
Mythomania Politik
Kebohongan bisa bersumber dari media, komunitas, hubungan sosial, keluarga, dan politisi. Dalam dunia politik, gangguan kepribadian mythomania banyak ditemukan meski sulit untuk dibuktikan. Mengatakan tentang banyak hal yang hanya ada dalam khayalannya. Hidup dalam alam fakta dan khayalan yang kesemuanya bisa jadi bertentangan. Mythomania politik dapat saja terjadi ketika para pemimpin, elit politik, pengambil kebijakan, dan pemegang kekuasaan secara terus-menerus berbohong tanpa perasaan bersalah.
Menumpuk semua cerita berseri yang kesemuanya tidak pernah bisa dibuktikan dalam alam kenyataan. Namun, anehnya dipercaya dengan kepercayaan totalitas tanpa koreksi. Ringan saja berbohong tentang berbagai hal sehingga masyarakat tidak lagi menyadari telah masuk dalam perangkap skenario cerita bohong yang berkelanjutan. Mereka para mythomania menikmati setiap cerita bohong yang dengan mudah diyakini oleh masyarakat. Kepuasan para mythomania politik ini adalah pada dukungan berupa sanjungan yang berlebihan meski itu semu sekali pun. Stephen J. Costello dalam bukunya The Truth About Lying mengatakan bahwa kita hidup di zaman ketika kepercayaan adalah “mata uang” yang sulit.
Jadi bermula dari kebohongan-kebohongan kecil yang tidak segera diingatkan sehingga lama-lama dirinya merasa nyaman dengan kebohongannya. Menganggap orang lain menyetujui tindakannya, memercayai ceritanya, dan berada dalam ruang pikiran yang sama dengan yang diyakininya. Tanpa ada peringatan moral secara tegas maka mereka yang terbiasa berbohong akan meneruskan kebohongannya hingga tak lagi bisa dibedakan mana yang nyata dan mana yang karangan. Kecemasan akan penilaian dirinya membuat seseorang membungkus dirinya dengan banyak tipuan. Lalu mereka yang berada di lingkar kehidupannya malah justru ikut memvalidasi semua kebohongannya.
Kita mungkin memang tidak bisa menghindari, tetapi kita bisa memilih posisi untuk tidak semakin tertarik dan terpesona pada pusaran kebohongan. Jika terus diikuti bisa jadi membentuk kita semakin terseret dan mengalami apa yang disebut oleh Costello sebagai “Pinocchio Effect”. Jadi ada baiknya juga kita renungkan apa kata Socrates, “Lebih baik dibenci karena mengatakan kebenaran daripada dicintai karena kebohongan”. Apakah kita sekarang juga bagian dari mereka yang terdeteksi mythomania? Entahlah…