Makna Suran Bagi Orang Jawa
Makna Suran Bagi Orang Jawa
oleh : Prof. Dr. Andrik Purwasito, DEA (Kepala Prodi Kajian Budaya, Sekolah Pasca Sarjana UNS, Surakarta)
Setiap 1 Suro itu ada kirab dan jamasan pusaka, sebenarnya apa makna Suro bagi orang Jawa? Bagi orang Jawa ada kepercayaan jangan menggelar pernikahan di bulan Suro, itu kenapa?
Bagi orang Jawa, Suro,
atau dikenal wulan suro adalah awal
tahun Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung dengan dasar mengikuti perhitungan
peredaran bulan Komariyah. Dalam perhitungan Sultan Agung setelah suro ada bulan kedua, yaitu Sapar, dst. Mulud,
Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah dan Besar.
Setiap bulan dalam perhitungan tahunan Jawa mempunyai kekuatan spiritual yang berkorelasi dengan peruntungan nasib seseorang. Maka wulan Besar sering digunakan sebagai ritual pernikahan, karena diharapkan pada bulan tersebut pasangan pengantin akan memperoleh peruntungan yang besar dalam kehidupannya. Misalnya, punya keturunan yang sempurna dan rezeki yang melimpah. Wulan suro pada umumnya merupakan pantangan bagi pernikahan karena bulan itu digunakan oleh Karaton Mataram untuk hajatan dan berbagai ritual gaib untuk menjaga eksistensi dan relasi kuasa jagad wadag dan jagad alus.
Maka apabila seseorang akan
melakukan pernikahan di bulan Suro perlu dilakukan ruwatan atau selamatan mohon
ijin kepada penguasa gaib.
Oleh karena itu, di Karaton keturunan Mataram, wulan Suro adalah bulan yang keramat, yang sangat baik untuk jamasan pusaka, untuk lelaku tirakat (tapa mbisu, tapa mlaku, tapa kungkum, untuk memulai usaha baru dan hajatan yang lain), karena pada saat itu, alam halus dan alam agal, keduanya terbuka untuk merestui apa yang menjagi pangajab (cita-cita) manusia. Allah SWT hadir dalam setiap ritual, yang diawali dengan doa Bismillahirohmanirochim. Lalu membaca syahadat dan doa panyuwun. Diakhiri dengan Alhamdulillahirobil alamin, bentuk syukur atas nikmat dan karunia dariNya.
Di era sekarang, apakah itu hanya sekadar seremoni atau mungkin atraksi?
Jadi pada hakekatnya Suro itu adalah waktu yang sangat baik
bagi orang Jawa untuk memohon keselamatan dan memohon hajat agar manusia
terhindar dari marabahaya dan selalu mendapatkan perlindungan, barokah, hidayah
dan inayahNya. Dalam kesempatan itu, Karaton sebagai pusat kekuasaan di masa
lalu, kini lebih bersifat sebagai pusat kebudayaan Jawa dan pusat
spriritualitas, maka acara Suran, atau memperingat wulan Suro mempunyai dua
dimensi. Pertama, bersifat Tuntunan (edukasi
dan inspirasi), yaitu edukasi bagi masyarakat agar hidupnya lurus dan
menjauhkan dari perbuatan kemungkaran (amar makruf nahi mungkar), Kedua
peringatan bulan Suro juga dimasukkan unsur Tontonan (entertainment, atraksi) yang kemudian diperlihatkan jimat (pusaka)
andalah Keraton/Kadipaten dengan cara Kirab, sedangkan Kebo Kyai Slamet adalah
merupakan pesan spiritual, yakni hidup bahagia itu adalah laku yang
selamat.
Maka Kyai slamet adalah symbol laku manusia yang harus
bekerja untuk kemanusiaan, seperti halnya kerbau yang siap membajak di sawah.
Tidak ayal lagi, setiap perjalanan Kyai Slamet yang kirab mengelilingi
jalan-jalan di kota Solo, tidak lain adalah kitab Gaib yang harus dibaca secara
edukatif dan inspiratif.
Bulan Suro dianggap sebagai bulan wingit atau horor, benarkah itu?
Bulan wingit itu hanya untuk
menyebut apa yang sudah saya jelaskan di atas. Jadi, terminology wingit tidak
dapat diterjemahkan sebagai ruang yang horor semata, tetapi wingit adalah
wilayah atau public space yang memberi peluang masyarakat untuk merenungkan kehidupan ini secara cerdas.
Orang-orang berduyun-duyun menonton
Kirab Kebo Kyai Slamet tidak lain adalah upaya untuk mawas diri, hidup itu
harus bekerja dan kerja, ikut menjaga kelesatarian
peradaban, dengan sikap saling hormat menghormat,
sikap toleransi di atas perbedaan yang ada.
Itulah makna satu suro yang sesungguhnya.