Pusdemtanas UNS Gelar FGD Konsep Perlindungan Hukum untuk Tenaga Medis Dalam Pelaksanaan Terapeutik di Masa Pandemi
Pusdemtanas UNS Gelar FGD Konsep Perlindungan Hukum untuk Tenaga Medis Dalam Pelaksanaan Terapeutik di Masa Pandemi
Penulis : ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (Alexa.IT.com), foto : eko prasetyo
SOLO-- Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional (Pusdemtanas) LPPM Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar Focus Group Discussion (FGD) Mandatory Research yang diketuai oleh Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. FGD yang mengangkat tema “Konsep Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Medis Dalam Pelaksanaan Transaksi Terapeutik pada Masa Pandemi” ini digelar di Gedung UNS Tower Ki Hadjar Dewantara, Jumat (29/7/2022).
Dalam FGD tersebut, Prof. Jamal yang juga Rektor UNS didampingi Kepala Pusdemtanas UNS, Dr. Sunny Ummul Firdaus mengatakan bahwa tenaga medis sebagai pihak terdepan dalam penanggulangan dan pemberian pelayanan kesehatan pada penderita Covid-19 menduduki posisi yang paling krusial. Hal ini tercermin dengan adanya kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi pada tenaga medis sebagai pihak yang kompeten. Tak ayal perkembangan kasus Covid-19 juga menyebabkan implikasi adanya tuntutan profesi dan kemanusiaan tenaga medis untuk memberikan pelayanan kesehatan yang tak jarang menyebabkan tenaga medis mengesampingkan haknya atas dasar tanggung jawab profesi yang harus diemban.
Berdasarkan data, tenaga medis gugur sepanjang pandemi Indonesia yang berlangsung mulai Maret 2020 hingga Januari 2021 sudah mencapai total 647 orang. Dengan rincian lebih lanjut terdiri dari dokter umum berjumlah 161 orang, dokter spesialis sejumlah 123 orang, dokter gigi sejumlah 27 orang, perawat sejumlah 221 orang, bagian bidang sejumlah 84 orang, apoteker sejumlah 11 orang, tenaga laboratorium medik sejumlah 15 orang dan 5 residen.
Kemudian provinsi yang memiliki angka kematian tenaga medis tertinggi yaitu Jawa Timur, dengan rincian sebanyak dokter sebanyak 56 orang, dokter gigi sebanyak 6 orang, perawat sebanyak 89 orang, tenaga laboratorium medik sebanyak 4 orang dan bidan sebanyak 33 orang dinyatakan meninggal karena Covid-19. Lebih lanjut data Lokadata menyatakan hingga Maret 2021 tenaga medis yang meninggal sebanyak 788 kasus.
Prof. Jamal menambahkan, hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Diantaranya ketidakoptimalan pelaksanaan informed consent. Adanya ketidakoptimalan pelaksanaan informed consent pasien yang menyebabkan tenaga medis pun turut terpapar. Hal ini terlihat dengan adanya 17 tenaga medis yang tertular Covid-19 pada 2020 di Kalimantan barat. Kasus ini terus mengalami pengulangan di berbagai daerah dengan adanya ketidakjujuran pasien dalam hal memberitahukan mengenai adanya riwayat perjalanan ke luar daerah maupun luar negeri yang notabene wilayah tersebut berpotensi merupakan zona merah. Mayoritas pasien hanya akan menyampaikan mengenai keluhan sakit biasa dengan tidak menyertakan adanya informasi kegiatan yang dilakukannya dalam jangka sebelumnya.
Kedua karena keterbatasan Alat Pelindung Diri (APD). Survei Oleh Tim Tsunami And Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) menyatakan bahwa 51% tenaga medis merasa tempat bekerja belum memberikan perlindungan yang optimal bagi mereka agar terhindari dari Covid-19. Kemudian Sebanyak 77.9% responden tenaga kesehatan masih terkendala dalam memperoleh APD dalam menjalankan tugasnya karena keterbatasan tersebut. Selanjutnya APD yang paling banyak digunakan yaitu masker bedah 80% serta sarung tangan dengan persentase 55,7%. Lalu terdapat 2% tenaga medis yang tak mendapatkan APD dengan baik, 75% fasilitas kesehatan tak melaksanakan swab secara rutin serta 59% fasilitas kesehatan tidak melaksanakan pemeriksaan rapid test secara rutin pada tenaga kesehatan
Ketiga adanya stigma negatif masyarakat. Stigma negatif masyarakat pada para tenaga medis ini tentu memberikan pengaruh tersendiri bagi tenaga medis. Sebanyak 90% tenaga medis mengaku ditolak warga karena diketahui menangani pasien virus corona.
Keempat, Kepuasan Masyarakat kepada Pemerintah dan Tenaga Medis. Data Lembaga Survei Indonesia menyatakan bahwasanya 37,2 persen masyarakat menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintah menangani wabah virus corona. Angka ketidakpuasan masyarakat ini meningkat dalam enam bulan terakhir dari posisi Agustus tahun lalu sebesar 32,9 persen.
“Kekecewaan itu antara lain diekspresikan melalui tagar #indonesiaterserah dan #terserahindonesia. Analisis kedua tagar tersebut selama 14 - 18 Mei 2020 berhasil merekam total 10.581 kicauan dari lima provinsi di Jawa,” ujar Prof. Jamal.
“Adapun perlindungan terhadap tenaga medis yang harus dijamin pelaksanaanya yaitu seperti adanya waktu kerja yang sesuai bagi tenaga medis pada masa Covid-19 agar tetap proporsional sesuai dengan Pasal 77 UU Ketenagakerjaan yang tujuannya untuk mencegah adanya penurunan kondisi fisik para tenaga medis, dimana hal ini menjadi sangat penting untuk menjaga kesehatan para tenaga medis. Lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban dokter diregulasikan dalam Pasal 51(a) UU Praktek Kedokteran,” ujar Prof. Jamal.
Sedangkan untuk konsep idealnya, perlu adanya regulasi mengenai adanya pengaturan penggunaan APD dari level 1, 2 dan 3 sesuai lokasi fasilitas kesehatan dan tingkat risiko penularan serta adanya pengenaan kewajiban di setiap rumah sakit dan fasilitas kesehatan mengadakan APD dan obat-obatan dalam jumlah yang ideal. Serta adanya pelaksanaan norma K3 rumah sakit yang harus dioptimalkan. Kemudian perlu adanya pengaturan perlindungan waktu bekerja bagi tenaga medis dalan penanggulangan Covid dan skema komposisi tenaga medis yang sesuai dengan komposisi jaga. Lalu adanya pengaturan mengenai pelaksanaan informed consent sesuai dengan perundang-undangan untuk ditegakkan, serta pemberian perlindungan hukum melalui lembaga bantuan hukum.
“Permasalahan hukum pada RS yang secara langsung menyebabkan kinerja tenaga medis terganggu dimana hal ini tentu berada di luar bagian profesi tenaga medis. Sehingga adanya pengaturan mengenai kewajiban setiap rumah sakit untuk didampingi atau memiliki lembaga bantuan hukum guna mengatasi permasalahan hukum yang terjadi,” imbuhnya.
Dalam FGD tersebut, turut menghadirkan beberapa pembicara diantaranya Direktur RS UNS, Prof. Dr. Hartono, dr. M.Si., Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian, Tonang Dwi Ardyanto, dr. Ph.D., dan dr. Gregorius Yoga Panji Asmara, S.H.,M.H.