Dekan FISIP UNS Sampaikan Pentingnya Perspektif Gender dan Inklusivitas dalam Pengelolaan Hutan Lestari
Dekan FISIP UNS Sampaikan Pentingnya Perspektif Gender dan Inklusivitas dalam Pengelolaan Hutan Lestari
caption foto : istimewa
Penulis : ditulis kembali oleh eko prasetyo (alexa IT com)
SOLO – Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bekerja sama dengan Inspirasi Tanpa Batas (INSPIRIT) dan Program Kehutanan Multipihak 4 (MFP4) mengadakan kelas intensif virtual. Acara yang bertema “Tantangan dan Peluang Undang-Undang Cipta Kerja dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan” diadakan pada Selasa (12/4/2022).
Acara yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Cloud Meetings ini merupakan bagian dari Pengembangan Community of Practice (COP) Enabler (Engage all Actors for Sustainable Growth). Dalam acara ini, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS, Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, menyampaikan pandangannya mengenai pengelolaan hutan lestari.
Menurut Prof. Ismi, pengelolaan hutan lestari harus mempertimbangkan aspek gender dan inklusi sosial. Aspek gender perlu dipertimbangkan mengingat rasio perempuan di dunia mendominasi dengan presentase 52 persen. Selain itu, kontribusi perempuan dalam perekonomian akan berdampak pada perekonomian global.
Sementara itu, inklusi sosial berarti memastikan orang-orang yang terpinggirkan secara sosial memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan hak asasi dan potensi penuh untuk berkontribusi pada pembangunan nasional, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kelompok yang dimaksud yakni perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, masyarakat adat, dan kelompok marjinal.
“Kita dapat menempuh jalan partisipatif yakni dengan melibatkan kelompok tersebut dalam semua tahapan pembangunan dari perencanaan hingga evaluasi,” ujar Prof. Ismi.
Hal ini berkaitan dengan salah satu bentuk pengelolaan hutan yang memiliki sifat hasil yang lestari. Bentuk tersebut adalah terjaminnya fungsi sosial ekonomi budaya bagi masyarakat.
Prof. Ismi menambahkan, pembangunan inklusif dalam pengelolaan hutan lestari perlu komitmen pihak yang bersangkutan dari level daerah hingga internasional. Pihak yang bersangkutan di antaranya pemegang kebijakan, perencana dan pengelola program, perusahaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan sebagainya.
“Strategi yang bisa dipilih yakni pengarusutamaan gender dan affirmative action. Strategi ini didukung dengan pendekatan pasar sehingga bisa menghasilkan output yang diperlukan yakni pengelolaan hutan secara adil dan setara gender serta inklusif,” imbuhnya.
Selain itu, Prof. Ismi juga menyampaikan bahwa kolaborasi heksaheliks (hexa-helix) dan kepemimpinan agile berperspektif gender dapat dilaksanakan dalam hal ini. Kolaborasi heksaheliks melibatkan enam komponen utama yakni komunitas, pemerintah, media massa, regulasi hukum, pendidikan, dan dunia industri. Kolaborasi tersebut dinilai jitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari.